SELAMAT DATANG TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGANNYA
kasih koment nya ya agar blog ini semakin baik

Jumat, 15 April 2011

Imunomodulator


Imunomodulator
DR. Mathilda B. Widianto
Jurusan Farmasi Institut Teknologi Bandung, Bandung

PENDAHULUAN
Suatu bidang baru farmakologi yang masih dalam taraf peng-galian serta pertentangan adalah pengembangan senyawa yangdapat menstimulasi respon imun. Dasar pemikirannya adalah,
senyawa semacam ini dapat digunakan untuk meningkatkanrespon imun pasien yang menderita berbagai bentuk penyakitimunodefisiensi baik yang umum maupun yang selektif. Sejakzaman dulu sampai zaman modern saat inf, sudah dilakukanusaha medis yang disebut terapi stimulasi non spesifik. Pe-nanganan yang dulu sering dilakukan, misalnya membuat absesbuatan dengan minyak terpentin, membuat radang korosiflokal dengan cara dibakar, atau menahan aliran darah. Abad-abad berikutnya disadari bahwa dengan menyuntikkan ber-bagai "zat perangsang", pertahanan terhadap infeksi dapat di-tingkatkan. Sebagai contoh disuntikkan darah sendiri, susu,kasein dan otolisat bakteri. Tampaknya rangsang radang lokaldapat meningkatkan keseluruhan pertahanan tubuh terhadappenyakit. Apakah hal ini dapat dibuktikan dengan uji eks-
perimental pada hewan percobaan?Fauve melakukan percobaan sebagai berikut: mencit di-suntik secara dorsal dengan magnesiumsilikat, suatu iritansiayang tak bertindak sebagai antigen. Beberapa hari kemudianhewan tersebut diinfeksi dengan berbagai kuman patogenantara lain bakteri, ragi juga dengan sel kanker. Berbedadengan hewan kontrol, hewan yang diberi granuloma dapatbertahan hidup.

APA YANG DIMAKSUD DENGAN IMUNOMODULATOR?
Imunomodulator adalah senyawa tertentu yang dapat me-ningkatkan mekanisme pertahanan tubuh baik secara spe-sifik maupun non spesifik. Yang terutama terjadi adalahinduksi non spesifik baik mekanisme pertahanan seluler mau pun humoral. Pertahanan non spesifik terhadap antigen ini di-sebut paramunitas, dan zat bersangkutan disebut penginduksiparaimunitas. Induktor semacam ini biasanya tidak atau se-dikit sekali kerja antigennya, malahan sebagian bekerja se-bagai mitogen yaitu menaikkan proliferasi sel yang berperanpada imunitas. Sel tujuan adalah makrofag, granulosit, lim-fosit T dan B; karena induktor paramunitas ini terutamamenstimulasi mekanisme pertahanan seluler. Mitogen ini dapatbekerja langsung maupun tak langsung (misalnya melaluisistem komplemen atau limfosit, melalui produksi inter-
feron atau enzim lisosomal) untuk meningkatkan fagositosismikro dan makro (lihat gambar 1). Mekanisme pertahananspesifik maupun non spesifik umumnya saling berpengaruh.Dalam hal ini pengaruh pada beberapa sistem pertahananmungkin terjadi, hingga mempersulit penggunaan imunomo-dulator ini dalam praktek



 




KARAKTERISTIKA IMUNOMODULATOR DAN METODE
PENGUJI
Aktivitas suatu senyawa yang dapat merangsang sistem imun
tidak tergantung pada ukuran molekul tertentu. Efek ini dapat
diberikan baik oleh senyawa dengan berat molekul yang kecil
maupun oleh senyawa polimer. Karena itu usaha untuk men-
cari senyawa semacam ini hanya dapat dilakukan dengan me-
tode uji imunbiologi saja. Termasuk di sini adalah metode
in vitro dan in vivo, di mana dapat diukur pengaruh senyawa
bersangkutan pada fungsi dan kemampuan sistem mono-
nuklear, demikian pula kemampuan terstimulasi dari limfosit B
dan T. Metode uji yang dapat digunakan dapat dilihat pada
tabel 1.
Tabel 1. Metode uji aktivitas imunomodulator
Metode bersihan karbon ("Carbon--Clearance")
Pengukuran secara spektrofluorometrik laju eliminasi partikel
karbon dari daerah hewan. Ini merupakan ukuran aktivitas
fagositosis.
Uji granulosit
Percobaan in vitro dengan mengukur jumlah sel ragi atau bakteri
yang difagositir oleh fraksi granulosit yang diperoleh dari serum
manusia. Percobaan ini dilakukan di bawah mikroskop.
Bioluminisensi radikal
02
Jumlah radikal 02 yang dibebaskan akibat kontak mitogen
dengan granulosit atau makrofag, merupakan ukuran besarnya
stimulasi yang dicapai.
Uji transformasi limfosit T
Suatu populasi limfosit T diinkubasi dengan suatu mitogen.
Timidin bertanda ( 3 H) akan masuk ke dalam asam nukleat
limfosit 1. Dengan mengukur laju permbentukan dapat diten-
tukan besarnya stimulasi dibandingkan dengan fitohemaglutinin
A (PHA) atau konkanavalin A (Con A)

PERSYARATAN IMUNOMODULATOR
Menurut WHO, imunomodulator haruslah memenuhi per-
syaratan berikut:
-- Secara kimiawi murni atau dapat didefinisikan secara kimia.
-- Secara biologik dapat diuraikan dengan cepat.
-- Tidak bersifat kanserogenik atau ko-kanserogenik.
-- Baik secara akut maupun kronis tidak toksik dan tidak
mempunyai efek samping farmakologik yang merugikan.
-- Tidak menyebabkan stimulasi yang terlalu kecil ataupun
terlalu besar.
Hanyalah jika kriteria ini dipenuhi dengah hasil positif, barulah
penggunaannya dalam terapi maupun sebagai profilaksis dapat
dipertimbangkan.
Imunomodulator digunakan path:
-- Terapi infeksi campuran; infeksi kronis; infeksi yang sudah
resisten terhadap khemoterapetika terutama infeksi yang
disebabkan virus dan bakteri.
-- Terapi penyakit ganas.
-- Dalam batas tertentu untuk terapi penyakit autoimun .
-- Kadang-kadang untuk kompensasi pengobatan dengan si-
tostatika
Timing" atau saat yang tepat pada pemberian imunomodula-
tor ini penting untuk diperhatikan; kalau tidak, terapi ini tak
berhasil. Variabel penentu lainnya adalah dosis dan cara
applikasi. Induktor paramunitas ini hendaknya dibedakan
dari adjuvan yang sering ditambahkan pada antigen. Penam-
bahan adjuvan dimaksudkan untuk memperkuat kerja imu-
nogen dari antigen, jadi memperkuat reaksi perlawanan yang
spesifik.
Dasar fungsional paramunitas
(menurut A. Mayr)
-- Terjadinya peningkatan kerja mikrofag dan makrofag serta
pembebasan mediator.
-- Menstimulasi limfosit (yang berperan pada imunitas tetapi
belum spesifik terhadap antigen tertentu), terutama mem-
potensiasi proliferasi dan aktivitas limfosit.
-- Mengaktifkan sitotoksisitas spontan.
-- Induksi pembentukan interferon tubuh sendiri.
-- Mengaktifkan faktor pertahanan humoral non spesifik
(misalnya sistem komplemen properdin-opsonin).
-- Pembebasan ataupun peningkatan reaktivitas limfokin
dan mediator atau aktivator lain.
-- Memperkuat kerja regulasi prostaglandin.
Beberapa imunomodulator yang sudah diteliti antara lain
ekstrak organ atau darah (misal dari timus dan limpa, ekstrak
embrio); ekstrak bakteri dan jamur (misal lipopolisakarida);
endotoksin; ribosom bakteri; ekstrak tanaman; dekstran;
hormon dan senyawa yang mirip hormon; lipida; protein
dan hasil urai protein; senyawa anorganik; racun dari hewan).
Timosin
Peptida dengan 28 asam amino ini diisolasi dari kelenjar
timus. Pada anak-anak serta awal masa dewasa kadar timosin
tinggi, mulai turun pada usia 30--40 tahun dan rendah pada
usia lanjut. Kadar serum pada defisiensi sel T (sindrom Di
George) rendah. Pada uji in vitro limfosit yang diberi timosin
ternyata jumlah sel akan bertambah. Efek transplantasi timus
fetus pada sindom DiGeorge mungkin disebabkan timosin
ini
. Efek samping dapat ditolerir, walaupun kadang-kadang
pada sekitar tempat penyuntikan terjadi reaksi kulit. Hasil
yang didapat cukup memuaskan jika defisiensi sel T ringan,
sedangkan pada kasus yang berat efek tak terlihat.
BCG
Pada beberapa zat dengan karakteristika antigen, stimulasi
efek spesifik dan non spefisik sulit dibedakan. Jika pada saat
bersamaan dan kalau mungkin pada tempat yang sama di-
suntikkan antigen + adjuvan misal secara SC atau IM, seperti
pada BCG misalnya, maka sistem imunitas spesifik terhadap
mikobakteri akan meningkat. Jika BCG digunakan IV, efek
non spesifik akan lebih menonjol, dan dapat digunakan untuk
membunuh sel tumor atau mencegah perbanyakan bakteri
dan virus. Tempat kerja bersama efek spesifik dan non spesifik
adalah makrofag. Aktivasi makrofag oleh BCG juga akan
meningkatkan laju bersihan (clearance rate) kompleks imun
dari darah. Sel T penting untuk kerja antikanker BCG ini.
Pada hewan yang diberi serum anti T efek imunoterapi BCG

diblokir. Ini dicoba pada melanoma, sarkoma dan leukemia
akut. BCG ternyata juga meningkatkan interferon serum.
Levamizol
Senyawa ini merangsang pematangan sel T pada kondisi
respon imun yang berkurang. Pada sistem imun normal, leva-
mizol tak bekerja. Hasil yang baik diperoleh pada penanganan
poliartritis, sindrom Reiter dan multipel sklerosis; sedang-
kan penanganan tumor dalam bentuk monoterapi tak ber-
manfaat. Jika diberikan bersama senyawa sitotoksik, zat
ini berbahaya, pemberiannya harus sedini mungkin pada fase
remisi. Pada pemakaian kronis efek samping yang ditimbul-
kannya cukup berat yaitu gangguan neurologis (6%), ganggu-
an saluran cerna (5%), reaksi hipersensitif (3%), nausea (13%)
dan kadang-kadang agranulositosis. Karena saat pemilihan
waktu pengobatan yang tepat cukup problematik srta karena
efek sampingnya, senyawa ini jarang digunakan untuk maksud
ini.
Transfer factor
Zat ini merupakan molekul RNA kecil atau peptida (BM se-
kitar 5000) yang berasal dari sel limfoid manusia. Disamping
meningkatkan respon sel T terhadap antigen, juga senyawa
ini merangsang sistem imun non spesifik dengan mekanisme
yang belum jelas. Efeknya dapat sangat berhasil pada be-
berapa kasus kandidiasis kronis mukokutan tetapi tak ber-
hasil pada pasien yang menderita imunodefisiensi berat cam-
puran. Banyak yang mengatakan bahwa mungkin juga dapat
digunakan pada penanganan sindrom Wiskott--Aldrich, sar-
koma osteogenik dan tbc. Dosis TF didasarkan pada jumlah
limfosit yang ada dalam preparat (sekurang-kurangnya 10
9
limfosit). Sudah ada beberapa penelitian tentang uji aktivitas
biologik, mekanisme kerjanya serta cara pemurnian zat ini.
Interferon
Glikoprotein ini berasal dari leukosit manusia, yang dibentuk
oleh sel tubuh karena berbagai rangsang. Saat ini telah di-
kenal 3 jenis utama interferon yaitu a, Q, dan y. Alfa inter-
feron (yang dulu disebut interferon leukosit) dibentuk oleh
linfosit dan sel lain sistem limfatik. Ada sekitar 10 macam
a interferon yang telah ditemukan. Beta interferon (dulu
disebut interferon fibroblas) diproduksi oleh fibroblas. Gama
interferon (yang disebut interferon imun) terbentuk dalam
limfoblas setelah adanya pembebasan interleukin 2 akibat
eksposisi
antigen. Interferon dapat mengaktifkan enzim
sitoplasma, yang mempengaruhi m--RNA. Diduga terjadi
hal berikut: interferon akan berikatan dengan reseptor spe-
sifik yang terdapat pada permukaan sel dan dapat meng-
induksi TIP
(transfer
inhibiting protein)
yang bersifat anti-
virus. Aktivitas interferon sangat tinggi, 1 mg dapat melindungi
10
15
sel. Disamping itu interferon berperan meninggikan akti-
vitas sitotoksik limfosit T juga menghambat pembelahan sel
seperti sel tumor. Alfa interferon dapat digunakan pada kasus
infeksi virus pada mata dan hidung; efek sampingnya antara
lain
gejala yang mirip flu, kadang-kadang nausea, muntah,
leukopenia serta trombositopenia. Beta interferon (Fibla-
feron
R
) digunakan untuk menanggulangi infeksi virus yang


sulit diobati (misal virus ensefalitis, herpes zoster generalisatus,
virus papiloma dan sebagainya).
Senyawa yang berasal dari tanaman
Asam aristolokhat: pada penelitian ternyata asam ini dapat
meningkatkan aktivitas fagositosis serta dapat pula meng-
kompensasi pengurangan aktivitas fagositosis akibat kloram-
fenikol dan tetrasiklin.
Senyawa dengan BM rendah lainnya yang juga mempunyai
efek pada mekanisme pertahanan tubuh adalah N-alkaloida
(sefarantin, tiloforin), terpen (ester diterpen, seskuiterpen-
lakton tertentu), senyawa fenolik (kleistantin; 2, 3 dihidroksi-
benzoat; asam klorogenat; asam ferulat, anetol); Iipida (ubik-
hinon, alkillisofosfolipida).
Senyawa dengan BM tinggi
Lektin:
lektin tanaman dapat terikat pada limfosit T dan me-
nyebabkan mitosis limfosit. Dari kelompok ini konkavalin
A mempunyai aktivitas mitogen yang tinggi dan biasanya
digunakan sebagai pembanding pada berbagai uji. Beberapa
lektin bekerja spesifik sitotoksik dengan menginhibisi sintesis
protein intraseluler atau dengan mengaktivasi sel "pem-
bunuh".
Polisakarida: polisakarida yang dapat menstimulasi sistem
imun ditemukan baik pada tanaman rendah maupun pada
tanaman tinggi, sedikit dalam algea dan Lichenes. Kerjanya
yaitu pada aktivasi makrofag, interferon atau sistem kom-
plemen. Pada percobaan dengan hewan, pemberian polisa-
karida ini sebagai profilaksis terhadap infeksi Pseudomonas
atau Staphylococcus ternyata memperbesar kemungkinan
hidup hewan bersangkutan.
Dari tanaman tinggi, fraksi polisakarida yang telah diteliti
yaitu dari jenis Calendula, Solidago, Trifolium pratense,
Viscum album, jenis Bryonia dan lain-lain. Baru-baru ini ber-
hasil diisolasi dua heteroglikan asam yang larut air dari Echi-
nacea purpurea (BM 35.000 dan 450.000) yang kemungkinan
bekerja sebagai imunomodulator. Keduanya terdiri dari ber-
bagai gula dalam perbandingan dan ikatan tertentu. Senyawa
ini menstimulasi fagositosis, bekerja kuat pada limfosit T dan
menginduksi produksi interferon. Hubungan struktur-aktivi-
tas polisakarida juga sedang diteliti oleh para ahli. Senyawa
yang kompleks dengan berat molekul yang tinggi lebih ber-
khasiat daripada senyawa dengan berat molekul yang rendah
dan bangun yang linier.
Beberapa tanaman yang sering digunakan untuk maksud ini
antara lain:
-- Chamomilla recutita
-- Arnica montana
-- Baptisia tinctoria
-- Mangifera indica
-- Aconitum napelus
-- Eupatorium perfoliatum
-- Solanum nigrum
dan lain-lain.
KESIMPULAN
Sampai saat ini penggunaan imunomodulator dalam peng
obatan masih banyak dipertentangkan. Mungkinkah pula
bahwa obat tradisional yang banyak digunakan, yang kerja-
nya belum dapat dijelaskan didasarkan pada dasar kerja
imunologik ini ? Bagaimana kita menjelaskan kerja akar
ginseng, kayu guayak dan sebagainya ? Apakah kerja imu-
nologik saponin ? Terapi dengan imunomudulator mungkin
dapat dikembangkan lebih lanjut asal saja ada kriteria yang
jelas, baik tentang cara aplikasi, dosis, keadaan pasien dan
sebagainya. Kemajuan yang sudah dicapai saat ini adalah
bahwa dengan suatu konsep modern tentang paramunitas telah
berhasil dilakukan alih bahasa pemikiran tradisional ke bahasa
ilmiah modern; ini tentu merupakan syarat bagi perkembang-
an lebih lanjut


Tidak ada komentar:

Posting Komentar