BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Protein merupakan salah satu dari biomolekul raksasa, selain polisakarida, lipid, dan polinukleotida, yang merupakan penyusun utama makhluk hidup. Selain itu, protein merupakan salah satu molekul yang paling banyak diteliti dalam biokimia. Protein ditemukan oleh Jöns Jakob Berzelius pada tahun 1838.
Protein berperan lebih penting dalam pembentukan biomolekul daripada sebagai sumber energi. Namun apabila mikroorganisme kekurangan energi maka protein dapat juga dipakai sebagai sumber energi. Kandungan protein rata-rata 4 kilokalori/gram atau setara dengan kandungan energi karbohidrat.
Keistimewaan lain dari protein adalah strukturnya yang mengandung N, disamping C, H, O (seperti juga karbohidrat dan lemak), S kadang-kadang P, Fe dan Cu (sebagai senyawa kompleks dengan protein). Dengan demikian salah satu cara terpenting yang cukup spesifik untuk menentukan jumlah protein secara kuantitatif adalah dengan penentuan kandungan N yang ada pada bahan makanan atau bahan lain. Dalam proses kehidupan mikroorganisme
Protein terdapat dalam produk hewan maupun dalam produk tumbuhan dalam jumlah yang berarti. Di Negara yang maju, orang memperoleh sebagian besar proteinnya dari produk hewan. Di bagian-bagian lain dunia, bagian utama protein makanan diperoleh dari produk tumbuhan. Banyak protein tumbuhan tidak mengandung satu atau lebih asam amino essensial.
B. Perumusan Masalah
C. Tujuan
D. Tinjauan Pustaka
1. Pengertian
Protein berasal dari kata protos dari bahasa Yunani yang berarti yang paling utama adalah senyawa organik kompleks berbobot molekul tinggi yang merupakan polimer dari monomer-monomer asam amino yang dihubngkan satu sama lain dengan ikatan peptide. Molekul protein mengandung hidrogen, oksigen, nitrogen, dan kadang sulfur serta fosfor. Protein berperan penting dalam struktur dan fungsi semua sel makhluk hidup dan virus.
2. Fungsi Protein
Dalam tubuh, protein berfungsi sebagai :
· Sumber energi;
· Pembetukan dan perbaikan sel dan jaringan;
· Sebagai sintesis hormon,enzim, dan antibody;
· Pengatur keseimbangan kadar asam basa dalam sel.
3. Struktur Protein
Molekul protein sendiri merupakan rantai panjang yang tersusun oleh matarantai asam-asam amino. Asam amino adalah senyawa yang memiliki satu atau lebih gugus karboksil ( COOH) dan satu atau lebih gugus amino ( NH2) yang salah satunya terletak pada atom C tepat disebelah gugus karboksil (atau atom C alfa). Asam-asam amino yang berbeda-beda (ada dua puluh jenis asam amino dalam protein alamiah) bersambung melalui ikatan peptida yaitu ikatan antara gugus karboksil satu asam amino dengan gugus amino dari asam amino yang disampingnya.
Struktur protein dapat dilihat sebagai hirarki, yaitu berupa struktur primer (tingkat satu), sekunder (tingkat dua), tersier (tingkat tiga), dan kuartener (tingkat empat).
§ Struktur primer protein merupakan urutan asam amino penyusun protein yang dihubungkan melalui ikatan peptida (amida). Frederick Sanger merupakan ilmuwan yang berjasa dengan temuan metode penentuan deret asam amino pada protein, dengan penggunaan beberapa enzim protease yang mengiris ikatan antara asam amino tertentu, menjadi fragmen peptida yang lebih pendek untuk dipisahkan lebih lanjut dengan bantuan kertas kromatografik. Urutan asam amino menentukan fungsi protein, pada tahun 1957, Vernon Ingram menemukan bahwa translokasi asam amino akan mengubah fungsi protein, dan lebih lanjut memicu mutasi genetik.
§ Struktur sekunder protein adalah struktur tiga dimensi lokal dari berbagai rangkaian asam amino pada protein yang distabilkan oleh ikatan hidrogen. Berbagai bentuk struktur sekunder misalnya ialah sebagai berikut:
Ø alpha helix (α-helix, "puntiran-alfa"), berupa pilinan rantai asam-asam amino berbentuk seperti spiral;
Ø beta-sheet (β-sheet, "lempeng-beta"), berupa lembaran-lembaran lebar yang tersusun dari sejumlah rantai asam amino yang saling terikat melalui ikatan hidrogen atau ikatan tiol (S-H);
Ø beta-turn, (β-turn, "lekukan-beta"); dan
Ø gamma-turn, (γ-turn, "lekukan-gamma").
§ Struktur tersier yang merupakan gabungan dari aneka ragam dari struktur sekunder. Struktur tersier biasanya berupa gumpalan. Beberapa molekul protein dapat berinteraksi secara fisik tanpa ikatan kovalen membentuk oligomer yang stabil (misalnya dimer, trimer, atau kuartomer) dan membentuk struktur kuartener.
Struktur primer protein bisa ditentukan dengan beberapa metode:
a. hidrolisis protein dengan asam kuat (misalnya, 6N HCl) dan kemudian komposisi asam amino ditentukan dengan instrumen amino acid analyzer,
c. kombinasi dari digesti dengan tripsin dan spektrometri massa, dan
Struktur sekunder bisa ditentukan dengan menggunakan spektroskopi circular dichroism (CD) dan Fourier Transform Infra Red (FTIR). Spektrum CD dari puntiran-alfa menunjukkan dua absorbans negatif pada 208 dan 220 nm dan lempeng-beta menunjukkan satu puncak negatif sekitar 210-216 nm. Estimasi dari komposisi struktur sekunder dari protein bisa dikalkulasi dari spektrum CD. Pada spektrum FTIR, pita amida-I dari puntiran-alfa berbeda dibandingkan dengan pita amida-I dari lempeng-beta. Jadi, komposisi struktur sekunder dari protein juga bisa diestimasi dari spektrum inframerah.
§ Struktur protein lainnya yang juga dikenal adalah domain. Struktur ini terdiri dari 40-350 asam amino. Protein sederhana umumnya hanya memiliki satu domain. Pada protein yang lebih kompleks, ada beberapa domain yang terlibat di dalamnya. Hubungan rantai polipeptida yang berperan di dalamnya akan menimbulkan sebuah fungsi baru berbeda dengan komponen penyusunnya. Bila struktur domain pada struktur kompleks ini berpisah, maka fungsi biologis masing-masing komponen domain penyusunnya tidak hilang. Inilah yang membedakan struktur domain dengan struktur kuartener. Pada struktur kuartener, setelah struktur kompleksnya berpisah, protein tersebut tidak fungsional.
4. Sifat Protein
a. Sifat Umum
Di alam, asam amino berupa asam amino α (alfa). Dalam molekul asam amino, karena atom C α (alfa) masih mengikat gugus lain yang tak sama dengan gugus amino, maka atom C ini bersifat asimetris, sehingga asam amino memiliki sifat optis aktif (artinya dapat memutar bidang sinar terpolarisasi), baik secara positif maupun negatif.
Konfigurasi atom C α asam amino termasuk L (kekiri). Sedangkan bentuk D (kekanan) secara alamiah jarang dijumpaipada asam amino di alam. Meskipun jarang dijumpai, namun ada juga jenis asam amino D, misalnya yang terdapat dalam senyawa antibioyika yang dihasilkan oleh bakteri tanah.
Sifat-sifat asam amino adalah : larut dalam air, dapat membentuk Kristal, harga konstanta dielektrikum yang tinggi, memiliki panas netralisasi seperti pada H+ dan OH- dan dalam medan listrik (misalnya dengan elektrophoresa) tak bergerak (dalam keadaan tertentu). Karene sifat-sifat tersebut asam amino dipercayai memilii sifat amphoter atau dalam keadaan zwitter ion yang memiliki muatan (+) dan (-) yang seimbang.
Sifat-sifat lain adalah : tak berwarna larut dalam air, tak larut dalam alkohol atau ether, dapat membentuk garam kompleks dengan logam berat (misalnya amino dengan Cu++ membentuk senyawa kompleks berwarna biru tua) dan dapat membentuk senyawa berwarna biru dengan ninhidrin. Pembentukan senyawa berwarn antara asam amino dengan ninhidrin ini sering dipakai sebagai dasar analisa kuantitatif maupun kualitatif senyawa asam-asam amino dan protein (Slamet Sudarmaji, 1996).
b. Sifat fungsional
Sifat fungsional didefinisikan sebagai sifat fisika dan sifat kimia yang mempengaruhi perilaku protein dalam system makanan selama pemrosesan, penyimpanan, penyiapan dan pengkonsumsian. Ikhtisar sifat ini diberikan dalam tabel 3.10.
Tabel 1.1 Sifat fungsional protein makanan.
Sifat Umum | Kriteria Fungsional |
Organoleptik | Warna, baurasa, rasa. |
Kinestetik | Tekstur, rasamulut, kehalusan, kebutiran, kekeruhan. |
Hidrasi | Kelarutan, keterbasahan, penyerapan air, penggembungan, pengentalan, penjelan, sineresis, viskositas. |
Permukaan | Pengemulsian, pembuihan (aerasi, pengocokan), pembentukan film. |
Pengikatan | Pengikatan lipid, pengikatan baurasa. |
Struktur | Kekenyalan, kekohesivan, kekunyahan, adesi, pengikatan-silang jaringan, agregasi, pembentukan adonan, teksturizabilitas, pembentukan serat, kemampuan cetak. |
Reologi | Kekentalan, penjelan. |
Enzimatik | Koagulasi (renet), pelunakkan (papain), pematangan (“proteinase”). |
Ketercampuran | Kekomplemenan (gandum-kedelai, gluten-kasein). |
Antioksida | Pencegahan baurasa menyimpang (emulsi fluida) |
Sumber : John. M .deman (1997)
5. Klasifikasi Protein
a. Dipandang dari peranan protein dalam jasad hidup, berbagai jenis protein dapat dikelompokkan dalam kelompok-kelompok sebagai berikut :
1. Protein yang terdapat dalam plasma darah , cairan limfa, dan cairan tubuh yang lain. Protein dalam kelompok ini berperan sebagai bahan yang mengatur tekanan osmosa cairan tubuh dank arena sifatnya sebagai senyawa dapar (buffer) maka protein juga menjaga kestabilan pH cairan tubuh. Protein dalam kelompok ini juga berperan sebagai pembawa asam amino yang perlu dipindahkan dari satu organ ke organ yang lain. Sebagian protein yang terlarut dalam serum cairan tubuh merupakan enzim, sedang yang lain berperan sebagai senyawa antiboi yang melindungi tubuh dari serangan bakteria dan bahan asing lain.
2. Protein kontraksi. Protein yang terdapat dalam jaringan otot dan sel kontraksi hewan tingkat rendah. Dalam otot terdapat protein aktin yang dalam keadaan kontraksi akan terikat dengan protein myosin sebagai aktomyosin.
3. Protein pernafasan. Merupakan kelompok protein yang berperan sebagai mengangkut oksigen dari organ pernafasan (paru-paru dan insang) ke jaringan-jaringan yang memerlukan oksigen contohnya hemoglobin.
4. Enzim. Kelompok protein yang termasuk enzim merupakan senyawa yang mendorong (mengkatalisa) reaksi-reaksi metabolisme jasad hidup. Banyak enzim yang hanya dapat bekerja aktif dengan adanya ko-enzim khusus yaitu senyawa bukan protein yang bermolekul lebih sederhana yang dapat lewat membrane dialisa dan stabil terhadap pemanasan
5. Hormon. Jenis protein yang dihasilkan oleh kelenjar-kelenjar endokrin yang kemudian diangkut oleh darah ke organ tubuh yang memerlukannya.
6. Protein persediaan makanan. Dalam jaringan hewan maupun tanaman, terdapat protein tertentu yang ditimbun sebagai cadangan makanan pada lembaga atau anaknya yang baru dilahirkan. Pada hewan yang bertelur (ovopar) protein persediaan ini terdapat dalam telur atau pada mamalia berupa susu. Sedang pada tanaman terdapat pada biji.
7. Protein inti sel. Protein inti sel atau nukleoprotein merupakan jenis protein yang terpenting dalam proses penerusan sifat-sifat keturunan yang terdapat dalam kromosom. Nukleoprotein ini terdiri dari senyawa protein yang terikat dengan asam nukleat.
8. Senyawa musin dan sebangsanya (mukoid). Merupakan kelompok protein yang sangat kental yang menyusun cairan tubuh. Senyawa protein semacam ini terdapat dalam sekresi kelenjar ludah, dalam cairan pencernaan, pankreas dan usus, cairan kental pada persendian, cairan tali pusar dan organ-organ lain yang memiliki kekentalan serupa. Kebanyakan senyawa musin ini merupakan gabungan antara protein dan polisakarida.
9. Kolagen. Merupakan kelompok protein dalam jaringan pengikat misalnya dalam tulang, tulang rawan, urat ligamen otot, kulit. Protein jenis ini tidak ditemui dalam tanaman.
10. Keratin. Kelompok protein ini tidak dapat larut dan sulit mengalami hidrolisa misalnya dalam rambut, tanduk, kulit, telapak kaki hewan, kuku dan juga tidak terdapat dalam tanaman (Slamet Sudarmaji, 1996).
b. Berdasarkan sifat fisiko-kimianya terutama kelarutannya sifat kelarutannya protein dikelompokkan menjadi protein sederhana. Protein sederhana yaitu protein yang hanya menghasilkan asam amino saja jika dihidrolisis dan termasuk golongan berikut:
1. Albumin. Albumin larut dalam air netral yang tidak mengandung garam. Biasanya ada protein yang berbobot molekul nisbi rendah. Contohnya albumin telur, laktalbumin, dan albumin serum dalam protein air dadih susu, leukosin serealia, dan legumelin dalam biji polong.
2. Globulin. Globulin larut dalam larutan garam netraldan hamper tidak larut dalam air. Contohnya globulin serum dan β-laktoglobulin dalam susu, myosin dan aktin dalam daging, dan glisinin dalam kedele.
3. Glutelin. Glutelin larut dalam asam atau basa yang sangat encer dan tidak larut dalam pelarut netral. Protein ini larut dalam serealia, seperti glutenin dalam gandum dan orizenin dalam beras.
4. Prolamin. Prolamin larut dalam alkohol 50 sampai 90 persen dan tidak larut dalam air. Protein ini mengandung sejumlah besar prolina dan asam glutamat dan terdapat dalam serealia. Contohnya zein dalam jagung, gliadin dalam gandum, dan hordein dalam barli.
5. Skleroprotein. Skleroprotein tidak larut dalam air dan pelarut netral dan tahan terhadap hidrolisis memakai enzim. Ini merupakan protein serat yang berperan pada struktur dan pengikatan. Kolagen dari jaringan otot dimasukkan dalam ke dalam golongan ini, seperti gelatin yang diperoleh dari kolagen. Contih yang lain termasuk elastin, yaitu komponen tendon, dan keratin, komponen rambut dan kuku binatang.
6. Histon. Histon adalah protein bersifat basa, karena kandungan lisin dan argininnya tinggi. Larut dalam air dan diendapkan oleh amonia.
7. Protamin. Protamin adalah protein bersifat basa kuat, berbobot molekul rendah (4000 sampai 8000). Protein ini kaya akan arginin. Contohnya klupein dari ikan hering (Clupea harengus harengus) dan skombrin dari ikan makarel (Scomber scombrus) (John. M. deman, 1997).
Meskipun pengelompokkan protein dengan cara ini luwes tetapi belum juga memuaskan. Misalnya globulin yang dikelompokkan sebagai protein yang tidak dapat larut dalam air, tetapi banyak jenis globulin serum darah yang ditunjukkan dengan cara elektro-foresa, dapat larut dalam air.
Dengan demikian lebih praktis mengelompokkan jenis-jenis protein sederhana menjadi protein yang larut dan protein yang tak larut, tanpa mengkaitkannya lagi dengan cara pengelompokkan yang lebih terperinci.
1. Kelompok protein yang larut
· Protein cairan sel. Cairan sel merupakan sarana pengangkutan nutrient ke jaringan atau organ-organ tubuh dan mengangkut kembali sisa metabolisme untuk diekskresikan (ginjal dan paru-paru). Cairan tubuh termasuk plasma darah, cairan antar sel (limfa, cairan tulang belakang) dan cairan sel.
Plasma darah dan limfa mengandung protein albumin-albumin dan globulin-globulin.
· Kasein. Kasein merupakan jenis protein terlarut yang terdapat dalam susu. Kasein akan menggumpal apabila susu diasamkan. Filtratnya mengandung laktalbumin (serupa serum albumin) dan juga β-laktoglobulin yang berbeda dengan globulin sesungguhnya. β-laktoglobulin tidak dapat disaltingout dengan larutan ammonium sulfat separo jenuh. Tetapi β-laktoglobulin malah tidak larut dalam air yang bebas garam.
Kasein merupakan campuran beberapa jenis fosfo-protein. Dengan cara fraksionasi asam, dapat dipisahkan lebih lanjut menjadi bagian-bagian yang disebut α, β, dan Ϫ kasein. Fosfornya berkisar antara 0,1% sampai 1,0% dalam α kasein. Karena tingginya kandungan fosfor ini maka kasein bersifat asam dengan titik iso-elektris pada pH 4,6. Dalam pH netral, kasein akan larut dalam bentuk kaseinat alkali atau kalsium yang tak dapat dikoagulasikan dengan pemanasan.
· Protein telur. Apabila bagian putih telur dari telur ayam difraksionasi dengan penambahan ammonium sulfat, sejumlah sedikit globulin atau lebih tepatnya disebut ovo-globulin akan mengalami saltingout (mengendap karena adanya garam).
Dua jenis protein lain dalam putih telur adalah avidin dan lysozyme. Titik iso elektris masing-masing adalah pada pH 10 sampai 11. Avidin dapat menginaktifkan vitamin biotin salah satu dari kelomok vitamin-vitamin B. Sedang lysozyme bersifat sebagai enzim pemecah asam-asam polisakarida. Dalam putih telur terdapat 3% lysozyme. Selain dalam putih telur, lysozyme ini terdapat juga dalam cairan hidung (nasal mucus) dan air mata (lacrymal).
Apabila protein-protein putih telur yang dapat dikoagulasikan oleh panas telah terkoagulasi semua maka sejenis protein yaitu ovomukoid yang tertinggi dalam cairan, dapat diendapkan juga dengan menambahkan etanol. Ovomukoid ini termasuk glikoprotein yang mengandung 20% karbohidrat (terdiri dari manosa, galaktosa dan N-ecetyl glucosamine). Kekentalan putih telur ditentukan oleh adanya ovomukoid.
Protein penyusun utama putih telur adalah vitellin. Vitellin ini dapat dipisahkan dari protein lainnya dengan menambahkan larutan natrium klorida (NaCl) 19%. Vitellin ini termasuk golongan fosfoprotein yang mengandung 0,9% fosfat. Senyawa fosfoprotein lain dalam kuning telur adalah livetin dan fosvitin.
· Protein-protein terlarut lain termasuk protamine (terdapat dalam sel-sel sperma ikan dan burung), histone (protein dalam sel-sel telur ikan dan burung), protein terlarut dari hasil nabati (terutama globulin dan prolamine) (Slamet Sudarmaji, 1996).
1. Kelompok protein yang tak terlarut
· Keratin. Keratin ini merupakan hasil proses pengerasan hasil epidermis, terutama kulit. Dengan demikian keratin banyak terdapat dalam jaringan-jaringan tersebut, terutama rambut, tanduk, teracak, kuku, bulu.
Keratin tak dapat dicerna oleh enzim-enzim pencernaan. Dengan demikian keratin ini mudah dipisahkan dari protein lain dengan memperlakukan jaringan dengan enzim proteolitik. Sejenis protein serupa dengan keratin ini terdapat juga dalam urat syaraf, membrane putih telur (di bawah kulit telur) dan bagian lain dari kulit hewan yang taj dapat dipecah oleh enzim pencernaan. Protein serupa keratin disebut psudo kerartin.
Keratin secara khusus lebih kaya akan kandungan belerang daripada jenis protein lain. Asam amino cystine (sistin, yang mengandung unsure S) dapat menyusun keratin sampai 11-12% dari beratnya. Ketidak larutan dan ketahanan keratin kemungkinan besar disebabkan oleh banyaknya jembatan dithio (S-S) dari rantai-rantai peptide penyusun keratin.
Apabila jembatan dithio ini diputuskan dengan senyawa-senyawa pereduksi, maka keratin dapat menjadi protein yang terlarut dan kemudian dapat dipecah oleh enzim pencernaan. Reaksi reduksi jembatan dithio ini berlangsung sebagai berikut :
R _ S _ S _ R + 2H → 2R _ SH
Reduksi ini dapat berlangsung dengan pereduksi misalnya senyawa sulfida dan asam thio-glikonat (HS _ CH2 _ COOH).
Jembatan dithio juga dapat diputuskan dengan bahan pengoksidasi atau oleh sianida. Reaksi oksidasi keratin akan menghasilkan gugus sulfonat (_SO3), sedangkan sianida akan mengadakan reaksi sebagai berikut :
R _ S _ S _ R + HCN → R _ SCN + HS _ R
Meskipun tidak larut dalam air, keratin dapat mengalami hidrasi. Penyerapan air hidrasi ini tergantung dari suhu dan tekanan uap air di udara. Kenaikan kelembaban udara akan menambah serat keratin yang menyebabkan bertambah panjangnya serat keratin.
Keratin juga bersifat elastic. Dengan tarikan, benang keratin akan memanjang, disertai perubahan pola diagram sinar X nya. Karena terjadinya perubahan fisik ini maka keratin yang ditarik memanjang disebut β - keratin dan yang normal disebut α – keratin. Apabila keratin dalam rambut atau benang wool direbus atau dikukus akan mengkerut tanpa dapat kembali lurus. Gejala ini disebut superkontraksi, yang mungkin disebabkan rusaknya struktur asli protein dan terjadi jembatan-jembatan baru antara rantai peptidanya.
· Kolagen. Kolagen merupakan protein tak terlarut dari jaringan pengikat. Karena kolagen tak terlarut dalam air dingin dan larutan asam atau basa lemah, maka kolagen ini dapat dibersihkan dari protein lain dengan solven tersebut. Berbeda dengan keratin, protein ini dapat dicerna oleh enzim proteolitik dalam sistem pencernaan. Tambahan pula kolagen miskin akan sistin dan sistein. Sedikit mengandung tirosin dan methionin dan sama sekali tidak mengandung triptofan. Tidak seperti keratin, kolagen tidak elastik dan tak dapat diukur dengan tarikan.
Kolagen dapat dengan mudah dirusak oleh bakteri. Dalam penyamakan kulit, kolagen yang terdapat dalam kulit dibuat menjadi lebih resisten oleh senyawa penyamak misalnya asam tannat dan gara-garam khromium. Senyawa penyamak tersebut akan membentuk jembatan antara rantai peptida kolagen sehingga lebih tahan terhadap kerusakan kimiawi dan fisis. Apabila kolagen baik setelah disamak atau belum dipanaskan dalam air akan mengalami superkontraksi sampa 1/3 dari panjang semula yang tak dapat kembali pada suhu 63 – 64oC. Dengan pemanasan yang lebih lama, kolagen yang tak disamak akan larut menjadi produk yang disebut gelatin. Tingginya kekentalan larutan gelatin menunjukkan bahwa molekul gelatin berbentuk benang. Apabila larutan yang mengandung gelatin 3% atau lebih maka gelatin padat akan terbentuk. Pemadatan ini terbentuk karena adanya ikatan antar molekul yang lemah sehingga dengan pemanasan (suhu 40 - 45oC) gelatin yang padat akan mencair kembali.
· Protein tak terlarut lain adalah serat-serat kenyal dari otot, kulit, dan jaringan pengikat lain mengandung elastin yaitu protein yang serupa kolagen tetapi lebih tahan terhadap degradasi enzimatis. Termasuk dalam kelompok protein yang tak terlarut (scleroprotein) lain misalnya protein karang laut, kulit kerang dan fibroin yaitu protein benang sutera. Benang sutera yang belum diolah mengandung protein terlarut yang disebut sericin yang dapat dihilangkan dengan pencucian. Meskipun benang sutera tak dapat diulur dengan tarikan, tetapi struktur pola diagram penyinaran sinar X nya serupa dengan keratin yang diulur (β - keratin) (Slamet Sujadi, 1996).
c. Protein konjugasi. Protein konjugasi mengandung bagian asam amino yang terikat pada bagian nonprotein seperti lipid, asam nukleat atau karbohidrat. Beberapa protein konjugasi yang penting, yaitu :
1. Fosfoprotein. Fosfoprotein merupakan golongan penting yang mencakup protein makanan yang penting. Gugus fosfat terikat pada gugus hidroksil dari serina atau treonina. Golongan ini mencakup kasein susu dan fosfoprotein kuning telur.
2. Lipoprotein. Lipoprotein adalah gabungan lipid dengan protein dan mempunyai deya mengemulsi yang sangat baik. Lipoprotein terdapat dalam susu dan kuning telur.
3. Nukleoprotein. Nukleoprotein merupakan gabungan asam nukleat dengan protein. Senyawa ini terdapat dalam inti sel.
4. Glikoprotein. Glikoprotein adalah gabungan karbohidrat dengan protein. Biasanya jumlah karbohidrat kecil, tetapi beberapa glikoprotein mengandung karbohidrat 8 – 20 persen. Satu contoh mukoprotein seperti itu ialah ovomusin putih telur.
5. Kromoprotein. Kromoprotein adalah protein yang gugus prostetiknya berwarna. Terdapat banyak senyawa jenis ini, termasuk di dalamnya hemoglobin dan myoglobin, klorofil, dan flavoprotein (John. M. deman, 1997).
d. Protein turunan
Protein turunan adalah senyawa yang diperoleh dengan metode kimia atau dengan metode enzimatik dan dipilah ke dalam turunan primer dan turunan sekunder, bergantung pada derajat perubahan yang terjadi. Turunan primer sedikit dimodifikasi dan tidak larut dalam air; kasein yang dikoagulasi dengan rennet (isi lambung sapi) merupakan contoh protein turunan primer.
Turunan sekunder mengalami perubahan yang lebih besar dan mencakup protease, pepton, dan peptida. Perbedaan antara hasil urai ini terletak pada ukuran dan kelarutan. Semua larut dalam air dan tidak dikoagulasi oleh bahang, tetapi protease dapat diendapkan dengan amonium sulfat jenuh. Peptida mengandung dua atau lebih sisa asam amino. Hasil urai ini terbentuk selama pemrosesan banyak makanan, misalnya selama pematangan keju.
6. Pengelompokkan asam amino.
Berdasarkan kemampuan tubuh untuk memproduksi asam amino, asam amino dibedakan menjadi dua jenis, yaitu :
1. Asam amino esensial. Asam amino esensial adalah jenis asam amino yang tidak dapat diproduksi dalam tubuh dengan cukup cepat untuk menyokong pertumbuhan normal.
2. Asam amino tidak esensial. Asam amino tidak esensial merupakan jenis asam amino yang dapat diproduksi dalam tubuh sendiri, sehingga tanpa adanya asam amino tersebut dalam bahan makanan tidak mengganggu pertumbuhan normal.
Tabel 1.2 Pengelompokkan jenis asam-asam amino
Esensial | Tidak esensial |
Arginin | Alanin |
Histidin | Asam aspartat |
Isoleusin | Sitrulin |
Leusin | Sistin |
Lisin | Asam glutamate |
Metionin | Hidroksiprolin |
Fenilalanin | Prolin |
Treonin | Serin |
Triptofan | Tirosin |
Valin | Glisin |
Sumber : Slamet Sudarmaji (1996)
BAB II
PEMBAHASAN
A. Denaturasi
Denaturasi adalah proses yang mengubah struktur molekul tanpa memutudkan ikatan kovalen. Proses ini bersifat khusus untuk protein yang mempengaruhi protein yang berlainan sampai tingkat yang berbeda pula. Denaturasi dapat terjadi oleh berbagai penyebab, yang paling penting ialah bahang, pH, garam, dan pengaruh permukaan. Denaturasi biasanya dibarengi oleh hilangnya aktivitas biologi dan perubahan yang berarti pada beberapa sifat fisika dan fungsi seperti kelarutan. Perusakan aktivitas enzim oleh bahang merupakan salah satu operasi terpenting pada pemrosesan makanan.
Protein putih telur mudah didenaturasi dengan bahang dan dengan gaya permukaan jika putih telur dikocok menjadi busa. Protein daging didenaturasi pada rentang suhu 57 sampai 75oC dan ini mempunyai pengaruh kuat terhadap tekstur, kemampuan menahan air, dan pengerutan.
Denaturasi dan koagulasi protein merupakan aspek kestabilan bahang yang dapat berkaitan dengan susunan dan urutan asam amino dalam protein. Denaturasi dapat didefinisikan sebagai perubahan besar dalam struktur alami yang tidak melibatkan perubahan dalam urutan asam amino. Pengaruh bahang biasanya menyangkut perubahan dalam struktur tersier, yang mengakibatkan susunan rantai polipeptida menjadi kurang teratur. Rentang suhu pada saat denaturasi dan koagulasi sebagian besar prortein sekitar 55 sampai 75oC seperti ditunjukkan pada tabel 2.1. Ada beberapa pengecualian yang penting pada pola umum itu. Kasein dan gelatin contoh protein yang dapat didihkan tanpa perubahan kestabilan yang nyata. Kestabilan kasein yang luar biasa ini memungkinkan kita mendidihkan, mensterilkan, dan memekatkan susu tanpa koagulasi. Penyebab kestabilan luar biasa ini telah dibahas oleh Kirchmeier (1962). Pertama, pembentukan ikatan disulfida yang terbatas karena kandungan sistin dan sistein yang rendah mengakibatkan kestabilan meningkat. Kedua, pembatasan terhadap pembentukan struktur tersier yang terlipat. Pembatasan ini disebabkan karena kandungan prolina dan hidroksoprolina yang nisbi tinggi dalam protein yang stabil terhadap bahang. Dalam rantai peptida yang tidak mengandung prolina, peluang pembentukan ikatan hidrogen antar dan intramolekul lebih baik daripada rantai yang mengandung banyak residu prolina. Pertimbangan ini menunjukkan bagaimana susunan asam amino berkaitan langsung dengan struktur sekunder dan tersier protein
Tabel 2.1 Suhu koagulasi beberapa albumin, globulin, dan kasein
Protein | Suhu koagulasi (oC) |
Albumin telur | 56 |
Albumin serum (sapi) | 67 |
Albumin susu (sapi) | 72 |
Legumelin (polong) | 60 |
Globulin serum (manusia) | 75 |
β – laktoglobulin (sapi) | 70-75 |
Fibrinogen (manusia) | 56-64 |
Myosin (kelinci) | 47-56 |
Kasein (sapi) | 160-200 |
Sumber : John. M. deman (1997)
B. Pencoklatan Nonenzim
Pencoklatan nonenzim atau rekasi Maillard sangat penting pada pemanufakturan makanan dan hasilnya mungkin dikehendaki mungkin tidak. Contohnya, pembentukan kulit luar coklat pada roti dikehendaki, pelunturan coklat susu yang diuapkan dan disterilkan tidak dikehendaki. Untuk produk yang reaksi pencoklatannya menguntungkan, cirri warna dan baurasa yang terbentuk biasanya dirasakan menyenangkan. Dalam produk lain, warna dan baurasa mungkin menjadi sangat tidak menyenangkan.
Rekasi pencoklatann dapat didefinisikan sebagai urutan peristiwa yang dimulai dengan reaksi gugus amino pada asam amino, peptida, atau protein dengan gugus hidroksil glikosidik pada gula; urutan diakhiri dengan pembentukan polimer nitrogen berwarna coklat atau melanoidin (Ellis, 1959).
Kecepatan dan pola rekasi dipengaruhi pertama-tama oleh asam amino atau protein yang bereaksi dan sifat karbohidrat. Hal ini berarti bahwa setiap jenis makanan dapat menunjukkan pola pencoklatan yang berbeda. Umumnya, lisina merupakan asam amino yang paling reaktif karena gugus amino-ɛ bebas. Oleh karena lisina merupakan asam amino esensial pembatas dalam banyak potein makanan, maka kerusakannya dapat mengurangi secara berarti nilai gizi protein. Makanan yang kaya akan gula mereduksi sangat reaktif, dan ini menjelaskan mengapa lisina dalam susu lebih mudah rusak daripada dalam makanan lainnya . factor lain yang mempengaruhi reaksi pencoklatan ialah suhu, pH, aras kandungan air, oksigen, logam, fosfat, belerang dioksida, dan inhibitor lainnya.
Rekasi pencoklatan melibatkan sejumlah tahap dan garis besar jalur keseluruhan pembentukan melanoidin diberikan oleh Hodge (1953). Menurut Hurst (1972), dalam proses tersebut terlibat lima tahap berikut:
1. Pembentukan glikosilamina yang tersubtitusi pada N dari aldosa atau ketosa yang bereaksi dengan gugus amino primer asam amino, peptida, atau protein.
2. Tata ulang glikosilamina melalui reaksi tata ulang Amadori menghasilkan aldosaamina atau ketosaamina.
3. Tata ulang kedua kali ketosaamida dengan mol aldosa kedua membentuk diketosaamina, atau reaksi aldosaamina dengan mol amino kedua menghasilkan gula diamino.
4. Penguraian gula amino dengan kehilangan satu atau lebih molekul air menghasilkan senyawa amino atau nonamino.
5. Kondensasi senyawa yang terbentuk pada tahap 4 dengan sesamanya atau dengan senyawa amino membentuk pigmen coklat dan polimer.
Pembentukan glikosilamina melalui reaksi gugus amino dan gula bersifat bolak-balik dan kesetimbangan sangat bergantung pada aras kendungan air yang ada. Mekanisme seperti yang ditunjukkan dianggap melibatkan adisi amina pada gugus karbonil gula bentuk rantai terbuka, eliminasi molekul air, dan penutupan cincin. Laju reaksi tinggi pada kandungan air rendah; ini menjelaskan sangat mudahnya terjadi pencoklatan dalam makanan yang dikeringkan dan yang dipekatkan.
Tata ulang Amadori glikosilamina melibatkan katalis asam dan membentuk ketosaamina atau 1-amino-1-deoksiketosa. Ketosaamina mwrupakan senyawa yang nisbi stabil yang terbentuk dengan hasil ,maksimum dalam sistem yang mengandung air 18 persen. Jenis tata ulang yang kedua ialah tata ulang Heyns yang merupakan alternatif dari tata ulang Amadori dan mengarah ke jenis transformasi yang sama. Mekanisme tata ulang Amadori melibatkan protonasi atom nitrogen pada karbon-1. Tata ulang Heyns melibatkan protonasi atom oksigen pada karbon-6.
Rekasi sekunder membentuk diketosaamina dan gula diamino. Pembentukan senyawa ini melibatkan reaksi yang rumit, bertentangan dengan pembentukan produk primer, reaksi tidak berlangsung berdasarkan mol per mol.
Pada tahap empat, ketosaamina diuraikan oleh enolisasi-1,2, atau enolisasi-2,3. Jalur pertama tampaknya merupakan jalur penting untuk pembentukan warna coklat sedangkan jalur kedua membentuk produk baurasa. Menurut Hurst (1972), jalur enolisasi-1,2 tampaknya teruama mengakibatkan pencoklatan tetapi juga mempunyai sumbangan pada pembentukan baurasa-menyimpang melalui hidroksimetilfurfural, yang mungkin merupakan faktor penyebab timbulnya bau-rasa menyimpang dalam produk makanan yang disimpan, dipanaskan berlebihan, atau yang dikeringkan.
Setelah pembentukan enol-1,2, aldosa dan ketosaamina, sederet penguraian dan pengkondensian menghaslkan melanoidin. Senyawa dikarbonil-α,β mengalami kondensasi jenis aldol yang menghasilkan polimer, mula-mula berukuran kecil, sangat terhidrasi, dan berbentuk koloid. Hasil kondensasi awal ini berfluorosensi dan jika reaksi berlanjut akan terbentuk melanoidin yang coklat. Polimer ini susunannya tidak jelas dan mengandung nitrogen yang banyaknya beragam. Susunannya berubah dengan berubahnya mitra reaksi, pH, suhu, dan kondisi lainnya.
Baurasa yang dihasilkan reaksi Mallard sangat beragam. Pada beberapa kasus, baurasa itu mengingatkan pada karamelisasi. Reaksi urai Stecker asam α-amino merupakan reaksi yang berperan juga secara berarti dalam pembentukan senyawa baurasa. Senyawa dikarbonil yang terbentuk (yang telah diuraikan sebelumnya bereaksi dengan asam α-amino.
Mekanisme pencoklatan yang agak berbeda dikemukakan oleh Burton dan McWeeny (1964). Setelah pembentukan aldosilamina, reaksi dehidrasi menghasilkan senyawa lingkar anggota-4 sampai 6. Jika reaksi berlangsung pada kondisi yang agak panas, terbentuk senyawa nitrogen yang berfluorosensi, dan senyawa ini bereaksi cepat dengan glisina membentuk melanoidin.
Peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan laju pencoklatan secara cepat, dan tidak hanya laju reaksi, tetapi pola reaksi juga dapat berubah sesuai dengan suhu. Pada sistem model, laju pencoklatan meningkat 2 sampai 3 kali untuk tiap kenaikan suhu 10o. Jika kandungan gula tinggi, laju dapat lebih tinggi lagi. Suhu mempengaruhi juga susunan pigmen yang terbentuk. Pada suhu yang lebih tinggi, kandungan karbon pigmen meningkat dan lebih banyak pigmen yang terbentuk per mol karbondioksida yang dibebaskan. Intensitas warna pigmen meningkat dengan meningkatnya suhu.
Dalam reaksi Maillard, gugus amino bisa hilang oleh karena itu, pH awal atau adanya dapar mempunyai pengaruh penting terhadap reaksi. Reaksi pencoklatan diperlambat oleh penurunan pH, dan reaksi pencoklatan dapat dikatakan bersifat menghambat sendiri karena pH menurun dengan hilangnya gugus amino basa. Pengaruh pH terhadap reaksi pencoklatan sangat bergantung pada kandungan air. Jika banyak air, sebagian besar pencoklatan disebabkan oleh pengkaramelan, tetapi pada keadaan kandungan air rendah dan pH lebih besar dari 6, reaksi Miallard mendominasi.
Metode untuk mencegah pencoklatan dapat terdiri atas tindakan untuk menurunkan laju reaksi, seperti pengendalian kandungan air, suhu, atau pH atau penghilang senyawa antara yang aktif. Umumnya, lebih mudah jika menggunakan inhibitor. Salah satu inhibitor pencoklatan yang paling efektif ialah belerang dioksida. Kerja belerang dioksida bersifat unik dan belum ada inhibitor lain yang cocok. Kita mengetahui bahwa sulfit dapat bereaksi dengan gugus karbonil aldosa membentuk senyawa adisi, tetapi reaksi ini tidak dapat menerangkan efek sulfit sebagai inhibitor. Diyakini bahwa belerang dioksida bereaksi dengan hasil urai gula amino, jadi mencegah senyawa ini berkondensasi menjadi melanoidin. Kerugian yang serius pada pemakaian belerang dioksida ialah bahwa senyawa ini bereaksi dengan tiamin dan protein, dank arena itu menurunkan nilai gizi makanan. Belerang dioksida merusak tiamin dan karena itu dilarang pemakaiannya dalam makanan yang mengandung vitamin ini (John. M. deman, 1997).
C. Perubahan Kimia
Selama pemrosesan dan penyimpanan makanan sejumlah perubahan kimia yang melibatkan protein dapat terjadi (Hurrell, 1984). Beberapa perubahan ini dikehendaki, yang lain tidak dikehendaki. Perubahan kimia ini dapat mengakibatkan terbentuknya senyawa yang tidak dapat dihidrolisis oleh enzim saluran cerna atau terjadinya perubahan rantai samping peptida yang mengakibatkan asam amino tertentu tidak tersedia. Perlakiuan memakai bahang secara lunak dengan adanya air dapat memperbaiki nilai gizi protein dalam beberapa kasus secara bermakna. Asam amino yang mengandung belerang dapat lebih tersedia dan faktor anti gizi tertentu seperti inhibitor tripsina kedele dapat diawaktifkan. Bahang yang berlebihan dapat merusak mutu protein; misalnya dalam protein iukat, triptofan, arginina, metionina, dan lisina dapt rusak. Sejumah reaksi kimia dapat berlangsung selama pemanasan termasuk penguraian, dehidrasi serina dan treonina, kehilangan belerang dari sisteina, oksidasi sisteina dan metionina, siklisasi asam glutamate, asam aspartat, dan treonina (Mauron, 1970, 1983).
Reaksi pencoklatan nonenzim, menyebabkan penguraian beberapa asam amino tertentu. Untuk reaksi ini diperlukan gula mereduksi. Kerusakan karena bahang dapat terjadi juga meskipun tidak ada gula. Bjarnason dan Carpenter (1970) menunjukkan bahwa pemanasan albumin plasma sapi pada 115oC selama 27 jam mengakibatkan hilangnya sistina 50% dan lisina 4%. Pengarang ini mengemukakan bahwa ikatan jenis amida terbentuk melalui reaksi gugus ɛ-amino lisina dan gugus amida aspargina atau glutamine, dan satuan-satuan yang bereaksi terdapat dalam rantai peptida yang sama atau yang bertetangga. Reaksi Maillard menyebabkan terjadinya pigmen coklat atau melanoidin yang tidak jelas dan mengakibatkan terbentuknya banyak senyawa baurasa dan senyawa bau. Reaksi pencoklatan dapat memblok lisina juga. Lisina tidak tersedia lagi jika senyawa ini terlibat dalam senyawa Amadori, tahap pertama pencoklatan. Pemblokan lisina tidak terjadi pada pasteurisasi produk susu, 0 sampai 2% pada sterilisasi UHT(ultrahigh temperature, suhu ultratinggi), 10 sampai 15% pada sterilisasi konvensional, dan 20 sampai 50% pada pengeringan giling gilas (Hurrel, 1984).
Beberapa asam amino dapat teroksidasi oleh radikal bebas yang terbentuk karena oksidasi lipid. Metionina dapat bereaksi dengan peroksida lipid menghasilkan metionina sulfoksida. Sisteina dapat diuraikan oleh lipid tanpa radikal. Penguraian asam lemak tak jenuh menghasilkan senyawa karbonil reaktif yang dapat menimbulkan reaksi yang serupa dengan reaksi yang terlibat dalam pencoklatan nonenzim. Metionina dapat dioksidasi dalam kondisi anaerob dengan adanya SO2 sebagai berikut:
R __ S __ CH3 + 2SO3- → R __ SO __ CH3 +2SO4-
Reaksi ini dikatalisis oleh ion mangan pada pH 6 sampai 7,5. SO2 dapat bereaksi juga dengan sistina menghasilkan sederetan hasil oksidasi. Beberapa produk reaksi yang mungkin terbentuk dari hasil oksodasi asam amino belerang disenaraikan dalam tabel 2.2.
Tabel 2.2 Produk oksidasi asam amino yang mengandung belerang
Nama | Rumus |
Metionina: | R __ S __ CH3 |
Sulfoksida | R __ SO __ CH3 |
Sulfur | R __ SO2 __ CH3 |
Sistina: | R __ S __ S __ R |
Disulfoksida | R __ SO __ SO __ R |
Disulfon | R __ SO2 __ SO2 __ R |
Sisteina: | R __ SH |
Sulfenat | R __ SOH |
Sulfinat | R __ SO2H |
Sulfonat (asam sisteat) | R__SO3H |
Sumber: John. M. deman (1997)
Perlakuan protein memakai basa sudah menjadi umum dalam industry makanan dan dapat mengakibatkan terjadinya reaksi yang tidak dikehendaki. Jika sistina diperlakukan memakai kalsium hidroksida, senyawa ini diubah menjadi asam amino-akrilat, hidrogen sulfide, belerang bebas, dan asam 2-metil tiazolidina-2,4-dkarboksilat. Reaksi ini dapat terjadi juga pada kondisi bersifat basa, yang dalam kondisi ini sistina diubah menjadi asam amino akrilat dan tiosisteina dengan mekanisme eliminasi-β. Asam amino akrilat (dehidro alanina) sangat reaktif dan dapat bereaksi dengan gugus ɛ-amino lisina menghasilkan lisinoalanin (Ziegler, 1964).
Pembentukan lisinoalanin tidak terbatas pada kondisi basa, senyawa ini dapat terbentuk juga pada pemanasan yang cukup lama. Setiap faktor yang menghendaki pH rendah dan pemanasan yang tidak begitu drastic akan mengurangi pembentukan lisinoalanin. Perlakuan yang lebih berat dengan basa dapat menguraikan arginina menjadi ornitina dan urea. Ornitina dapat beraksi dengan dehidroalanina melalui reaksi yang serupa dengan reaksi yang menghasilkan lisinoalanina dan dalam hal ini terbentuk ornitoalanina.
Perlakuan protein dengan ammonia dapat mengakibatkan terjadinya adisi ammonia pada dehidroalanina menghasilkan β-aminoalanina. Oksidasi protein yang diimbas cahaya telah ditunjukkan mengakibatkan terbentuknya baurasa menyimpang dan rusaknya asam amino esensial dalam susu. Patton (1954) menunjukkan bahwa sinar matahari menyerang metionina dan mengubahnya menjadi motional (β-metilmerkaptopropionaldehida), yang dapat menimbulkan baurasa menyimpang khas karena sinar matahari dengan aras 0,1 bpj. Kemudian ditunjukkan oleh Finley dan Shipe (1971) bahwa sumber dari baurasa menyimpang yang diimbas cahaya dalam susu terdapat dalam fraksi lipoprotein berkerapatan rendah.
Protein bereaksi dengna polifenol seperti asam fenolat, flavonoid, dan tannin yang terdapat luas dalam produk tumbuhan. Reaksi ini dapat mengakibatkan penurunan lisina yang tersedia, ketercernaan protein, dan nilai biologi (Hurrell, 1984).
Rasemisasi merupakan akibat dari perlakuan protein makanan dengan bahang dan rasa. Asam amino yang terdapat dalam protein termasuk deret L. Reaksi rasemisasi mulai dengan pengambilan proton-α dari bagian asam amino menghasilkan korbanion datar yang bermuatan negatif. Jika proton dikembalikan lagi kepada senyawa-antara yang tidak bersifat aktif optik ini, dapat terbentuk enantiomer-D atau-L (Masters dan Friedman,1980). Rasemisasi mengakibatkan penurunan ketercernaan dan mutu protein (John. M. deman, 1997).
D. Tujuan Analisa Protein
Pemanasan yang berlebihan atau perlakuan lain mungkin akan merusak protein apabila dipandang pada sudut gizinya. Sehingga, tujuan analisa protein dalam bahan makanan adalah :
a. Menera jumlah kandungan protein dalam bahan makanan;
b. Menetukan tingkat kualitas protein dipandang dari sudut gizi;
c. Menelaah protein sebagai salah satu bahan kimia misalnya secara biokimiawi, fisiologis, rheologis, enzimatis dan telaah lain yang lebih mendasar.
Secara rutin, analisa protein dalam bahan makanan yang terutama adalah untuk tujuan a.
a. Peneraan jumlah protein total.
Peneraan jumlah protein dalam bahan makanan umumnya dilakukan berdasarkan peneraan empiris (tidak langsung), yaitu mulai penentuan kandungan N yang ada dalam bahan. Penentuan dalam cara langsung atau absolute, misalnya denga pemisahan, pemurnian, atau penimbangan protein akan memberikan hasil yan lebih tepat tetapi juga sangat sukar, membutuhkan waktu lama, keterampilan tinggi dan mahal. Hanya untuk keperluan tertentu, terutama untuk penelitian yang lebih mendasar (nilai gizi protein tertentu, susunan asam amino, aktifitas enzimatis dan lain-lain) maka cara ansolut ini peru ditempuh.
Peneraan jumlah protein secara empiris yang umum dilakukan adalah dengan menentukan jumlah nitrogen (N) yang dikandung oleh Kjeldahl, seorang ahli ilmu kimia Denmark pada tahun 1883. Dalam penentuan protein, harusnya hanya nitrogen yang berasal dari protein saja yang ditentukan. Akan tetapi secara teknis hal ini sulit sekli dilakukan dan mengingat jumlah kandungan senyawa lain selain protein dalam bahan biasanya sangat sedikit, maka penentuan jumlah N total ini tetap dilakukan untuk mewakili jumlah protein yang ada. Kadar protein yang ditentukan berdasarkan cara Kjeldahl ini dengan demikian sering disebut sebagai kadar protein kasar (crude protein).
Dasar perhitungan penentuan protein menurut Kjeldahl ini adalah hasil penelitian dan pengamatan yang menyatakan bahwa umumnya protein alamiah mengandung unsure N rata-rata 16% (dalam protein murni). Untuk senyawa-senyawa protein tertentu yang telah diketahui kadar unsure N nya, maka angka yang lebih tepat dapat dipakai.
Apabila jumlah unsur N dalam bahan telah diketahui (dengan berbagai cara) maka unsur protein dapat diperhitungkan dengan :
Jumlah N x atau
Jumlah N x 6,25
Untuk campuran senyawa-senyawa protein atau yang belum diketahui komposisi unsur-unsur penyusunnya secara pasti, maka factor perkalian 6,25 inillah yang dipakai. Sedangkan untuk protein-protein tertentu yang telah diketahui komposisinya dengan lebih tepat maka faktor perkalian yang lebih tepatlah yang dipakai. Misalnya faktor perkalian yang diketahui adalah :
5,70 untuk protein gandum
6,38 untuk protein susu
5,55 untuk gelatin (kolagen yang terlarut)
Penentuan protein berdasarkakn jumlah N menunjukkan protein kasar karena selain protein juga terikut senyawaan N bukan protein misalnya urea, asam nukleat, ammonia, nitrit, nitrat, asam amino, amida, purin, dan pirimidin. Penentuan cara ini yang paling terkenal adalah cara Kjeldahl yang dalam perkembangannya terjadi berbagai modifikasi misalnya oleh Gunning dan sebagainya. Analisa protein cara Kjeldahl pada dasarnya dapat dibagi menjadi tiga tahapan yaitu proses destruksi, proses destilasi dan tahap titrasi (Slamet Sudarmaji, 1996).
1. Tahap destruksi
Pada tahap ini sampel dipanaskan dalam asam sulfat pekat sehingga terjadi destruksi menjadi unsur-unsurnya. Elemen karbon, hidrogen teroksidasi menjadi CO,CO2, dan H2O. sedangkan nitrogennya (N) akan berubah menjadi (NH4)2SO4. Asam sulfat yang dipergunakan untuk destruksi diperhitungkan adanya bahan protein, lemak, dan karbohidrat. Untuk mendestruksi 1 gram protein diperlukan 9 gram asam sulfat, untuk 1 gram lemak perlu 17,8 gram, sedabgkan 1 gram karbohidrat perlu asam sulfat sebanyak 7,3 gram. Karena lemak memerlukan asam sulfat yang paling banyak dan memerlukan waktu destruksi cukup lama, maka sebaiknya lemak dihilangkan terlebih dahulu sebelum destruksi dilakukan. Asam sulfat yang digunakan minimum 10 ml (18,4 gram). Sampel yang dianalisa sebanyak 0,4 – 3,5 gram atau mengandung nitrogen sebanyak 0,02 – 0,04 gram. Untuk cara mikro Kjeldahl bahan tersebut lebih sedikit lagi, yaitu 10 – 30 mg.
Untuk mempercepat proses destruksi sering ditambahkan katalisator berupa campuran Na2SO4 dan HgO (20 : 1). Gunning menganjurkan menggunakan K2SO4 atau CuSO4. Dengan penambahan bahan katalisator tersebut titik didih asam sulfat akan dipertinggi sehingga destruksi berjalan lebih cepat. Tiap 1 gram K2SO4 dapat menaikkan titik didih 3oC. Suhu destruksi berkisar antara 370 sampai 410oC.
Protein yang kaya asam amino histidin dan triptophan umumnya memerlukan waktu yang lama dan sukar dalam destruksinya. Untuk bahan seperti ini memerlukan katalisator yang relatif lebih banyak. Selain katalisator yang telah disebutkan tadi, kadang-kadang juga diberikan selenium. Selenium dapat mempercepat proses oksidasi karena zat tersebut selain menaikkan titik didih juga mudah mengadakan perubahan dari valensi tinggi ke valensi rendah atau sebaliknya.
Selam destruksi akan terjadi reaksi sebagai berikut (bila digunakan HgO) :
HgO + H2SO4 → HgSO4 + H2O
2HgSO4 → Hg2SO4 + SO2 + 2On
Hg2SO4 + 2H2SO4 → 2HgSO4 + 2H2O + SO2
(CHON) + On + H2SO4 → CO2 + H2O +(NH4)2SO4
Ammonium sulfat yang etebentuk dapat mengadakan reaksi dengan merkuri oksida membentuk senyawa kompleks. Apabila dalam destruksi menggunakan senyawa Hg sebagai katalisator maka sebelum proses destilasi Hg harus diendapkan lebih dahulu dengan K2S atau dengan thiosulfat supaya senyawa kompleks merkuri ammonia pecah menjadi ammonium sulfat. Penggunaan selenium lebih reaktif dibandingkan merkuri dan kupri sulfat tetapi Se mempunyai kelemahan yaitu karena sangat cepatnya oksidasi maka nitrogennya justru mungkin ikut hilang. Hal ini dapat diatasi dengan pemakaian Se yang sangat sedikit yaitu kurang dari 0,25 gram. Berbeda dengan merkuri, pemakaian Se sebagai katalisator tidak perlu diberikan perlakuan lagi sebelum destilasi dimulai. Proses destruksi sudah selesai apabila larutan menjadi jernih atau tidak berwarna. Agar analisa lebih tepat maka tahap destruksi ini dilakukan pula perlakuan blanko yaitu untuk koreksi adanya senyawa N yang berasal dari reagensia yang digunakan.
2. Tahap destilasi
Pada tahap destilasi, ammonium sulfat dipecah menjadi ammonia (NH3) dengan penambahan NaoH sampai alkalis dan dipanaskan. Agar selam destilasi tidak terjadi superheating ataupun pemercikkan cairan atau timbulnya gelembung gas yang besar maka dapat ditambahkan logam zink (Zn). Ammonia yang dibebaskan selanjutnya akan ditangkap oleh larutan asam standar. Asam standar yang dapat dipakai adalah asam klorida atau asam borat 4% dalam jumlah yang berlebihan. Agar kontak antara ammonia dan asam lebih baik maka diusahakan ujung tabung destilasi tercelup sedalam mungkin dalam asam. Untuk mengetahui asam dalam keadaan berlebihan maka diberikan indikator misalnya BCG + MR atau PP. Destilasi diakhiri bila sudah semua ammonia terdestilasi sempurna dengan ditandai destilat tidak bereaksi basis.
3. Tahap titrasi
Apabila penampung destilat digunakan asam klorida maka sisa asam klorida yang tidak bereaksi dengan ammonia dititrasi dengan NaOH standar (0,1 N). Akhir titrasi ditandai dengan tepat perubahan warna larutan menjadi merah muda dan tidak hilang selama 30 detik bila menggunakan indikator PP. Selisih jumlah titrasi blanko dan sampel merupakan jumlah ekuivalen nitrogen.
Apabila penampung destilasi digunakan asam borat maka banyaknya asam borat maka banyaknya asam borat yang bereaksi dengan ammonia dapat diketahui dengan menggunakan asam klorida 0,1 N dengan indikator (BCG + MR). Akhir titrasi ditandai dengan perubahan warna larutan dari biru menjadi merah muda. Selisih jumlah titrasi sampel dan blanko merupakan jumlah ekuivalen nitrogen.
Setelah diperoleh % N, selanjutnya dihitung kadar proteinnya dengan mengalikan sutau faktor. Besarnya faktor perkalian N menjadi protein ini tergantung pada persentase N yang menyusun protein dalam suatu bahan. Besarnya faktor perkalian untuk beberapa bahan disajikan pada tabel berikut :
Tabel 2.3 Faktor perkalian n beberapa bahan
Macam Bahan | Faktor Perkalian |
Bir, sirup, biji-bijian, ragi | 6,25 |
Buah-buahan, the, anngur, malt | 6,25 |
Makanan ternak | 6,25 |
Beras | 5,95 |
Roti, gandum, makaroni, mie | 5,70 |
Kacang tanah | 5,46 |
Kedele | 5,75 |
Kenari | 5,18 |
Susu | 6,38 |
Gelatin | 5,55 |
Sumber : Slamet Sudarmaji (1996)
Selain cara Kjeldahl, penentuan N dapat pula dengan jalan mereaksikan protein atau asam amino dengan asam nitirit sehingga dibebaskan N. Gas nitrogen yang terjadi diukur banyaknya secara volumetris. Cara ini dikenal dengan cara Van Slyke.
Reaksi yang terjadi sebagai berikut :
RNH2 + HNO2 → ROH + H2O + N2
Nitrogen dianggap gas ideal, 1 grol N = 22,4 liter, dengan mengetahui volume gas dapat dihitung berat nitrogennya dan selanjutnya dapat dihitung kadar proteinnya.
Cara lain yang agak mirip cara di atas adalah cara Dumas. Pada cara ini protein dibakar (pirolisis) sehingga dibebaskan nitrogen. Gas nitrogen diukur secara volumetris dan dapat dihitung proteinnya dengan mengalikan dengan faktor konversi. Disamping metode Kjeldahl, metode empiris lain yang telah dikembangkan adalah :
· Metode Lowry
Protein dengan asam fosfotungstat-fosfomolibdat pada suasana alkalis akan memberikan warna biru yang intensitasnya bergantung pada konsentrasi protein yang ditera. Konsentrasi protein diukur berdasarkan optikal densyti pada panjang gelombang 600 nm (OD terpilih). Untuk mengetahui banyaknya protein dalam larutan, lebih dahulu dibuat kurva standar yang melukiskan hubungan antara konsentrasi dengan OD. Biasanya digunakan protein standar Bovine Serum Albumin (BSA) atau Albumin Serum Darah Sapi. Larutan lowry ada dua macam yaitu larutan A yang terdiri dari fosfotungstat-fosfomlibdat (1 : 1) dan larutan lowry B yang terdiri dari Na karbonat 2% dalam NaOH 0,1 N, kupri sulfat, dan Na-K-tartrat 2%. Cara penetuannya adalah sebagai berikut :
1 ml larutan protein ditambah 5 ml Lowry B, digojog dan dibiarkan selama 10 menit. Kemudian ditambah 0,5 ml Lowry A digojog dan dibiarkan 20 menit, selanjutnya diamati OD nya pada panjang gelombang 600 nm. Cara Lowry 10 – 20 kali lebih sensitive daripada cara UV atau cara biuret.
· Metode Biuret
Larutan protein dibuat alkalis dengan NaOH kemudian ditambahkan larutan CuSO4 encer. Uji ini untuk menunjukkan adanya senyawa-senyawa yang mengandung gugus amida asam (_ CONH2) yang berada bersama gugus amida asam yang lain atau gugus yang lain seperti __ CSNH2, __ C(NH)NH2, __ CH2NH2, __ CRHNH2, __ CHOHCH2NH2 __ CHOHCH2NH2, __ CHNH2CH2OH, __CHNH2CHOH.
Dengan demikian uji biuret tidak hanya untuk protein tetapi zat lain seperti biuret atau malonamida juga memberikan reaksi positif yaitu ditandai dengan timbulnya warna merah violet atau biru violet.
Intensitas warna tergantung pada konsentrasi protein yang ditera. Penentuan protein cara biuret adalah dengan mengukur optikal density (OD) pada panjang gelombang 560 – 580 nm. Agar dapat dihitung banyaknya protein dalam bahan maka perlu lebih dahulu dibuat kurva standar yang melukiskakn hubungan antara kosentrasi protein dengan OD pada panjang gelombangn yang terpilih. Dibandingkan dengan cara Kjeldahl maka biuret lebih baik karena hanya protein atau senyawa peptida yang bereaksi dengan biuret kecuali urea.
· Metode Spektrofotometer UV
Kebanyakan protein mengabsorbsi sinar ultra violet maksimum pada 280 nm. Hal ini terutama karena adanya asam amino tirosin, triptophan, dan fenilalanin yang ada pada protein tersebut. Pengukuran protein berdasarkan absorbs sinar UV, cepat, mudah, dan tidak merusak bahan. Untuk keperluan perhitungan juga diperlukan kurva standar yang melukiskan hubungan antara konsentrasi protein dengan OD.
· Metode Turbidimetri atau Kekeruhan
Kekeruhan akan terbentuk dalam larutan yang mengandung protein apabila ditambahkan bahan pengendap protein misalnya Tri Chloro Acetic acid (TCA), Kalium Ferri Sianida (K4Fe(CN)6), atau asam sulfosalisilat. Tingkat kekeruhan diukur dengan alat turbidimeter. Tabel atau kurva juga harus dibuat terkebih dahulu untuk menunjukkan hubungan antara kekerungan dengan kadar protein (dapat ditentukan dengan cara Kjeldahl). Cara ini hanya dapat dipakai untuk bahan protein yang berupa larutan dan biasanya hasilnya kurang tepat.
· Metode Pengecatan
Beberapa bahan pewarna misalnya Orange G, Orange 12, dan Amino Black dapat membentuk senyawaan berwarna dengan protein dan menjadi tidak larut. Dengan mengukur sisa bahan pewarna yang tidak bereaksi dalam larutan (dengan colorimeter), maka jumlah protein dapat ditentukan dengan cepat. Tentunya tabel atau kurva standar perlu dibuat terlebih dahulu untuk keperluan ini.
· Penentuan Protein dengan Titrasi Formol
Larutan protein dinetralkan dengan larutan basa (NaOH), kemudian ditambahkan formalin akan membentuk dimethiol. Dengan terbentuknya dimethiol ini berarti gugus aminonya sudah terikat dan tidak akan mempengaruhi rekasi antara asam (gugus karboksil) dengan basa NaOH sehingga akhir titrasi dapat diakhiri dengan tepat. Indikator yang digunakan adalah PP, akhir titrasi bila tepat terjadi perubahan menjadi warna merah muda yang tidak hilang dalam 30 detik. Titrasi formol ini hanya tepat untuk menentukan suatu proses terjadinya pemecahan protein dan kurang tepat untuk penentuan protein (Slamet Sudarmadji, 1996).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar